Budaya Malam Satu Suro

Satu Suro merupakan salah satu warisan budaya yang masih dilestarikan. Bahkan, setiap tanggal satu suro dijadikan sebagai hari libur nasional. Masyarakat Jawa, terlebih Yogyakarta dan Solo, sangat akrab dengan malam satu suro.

Sebelum membahas lebih banyak lagi tentang budaya malam satu suro, perlu diketahui bahwa sistem penanggalan yang dipakai untuk menentukan malam satu suro berbeda dengan sistem penanggalan masehi. Sistem penanggalan perayaan malam satu suro berdasarkan pada kalender jawa.

Kalender Jawa ini untuk pertama kali diterbitkan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo. Kalender Jawa dihitung berdasarkan penggabungan kalender lunar (Islam), kalender matahari (masehi) dan Hindu. Karena sistem penanggalan ini, peringatan malam satu suro akan berbeda-beda di setiap tahunnya jika dilihat pada kalender Masehi, sistem penanggalan yang lebih sering digunakan sobat idschool.

Apa itu budaya malam satu suro? Peringatan seperti apa yang diadakan setiap tanggal satu suro? Halaman ini akan mengulas pengertian malam satu suro, sejarah peringatan malam satu suro, karakteristik upacara peringatan budaya malam satu suro, dan makna peringatan malam satu suro sebagai warisan budaya.

Table of Contents

Apa itu peringatan Malam Satu Suro?

Satu Suro adalah hari pertama dalam kalender Jawa di bulan Sura (dibaca: Suro). Bulan Suro adalah bulan pertama dalam kalender Jawa. Dalam bahasa lain dapat dikatakan sebagai malam satu suro adalah malam tahun barunya orang yang menggunakan sistem kalender Jawa. Satu suro biasanya diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tanggal satu suro. Sehingga masyarakat sering menyebutnya dengan malam satu suro.

Pergantian hari menurut kalender Jawa dimulai pada saat matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam. Sehingga dengan alasan inilah peringatan malam satu suro diperingati pada malam hari setelah magrib pada hari sebelum tanggal satu suro. Malam satu suro dipandang oleh masyarakat Jawa sebagai malam keramat. Bagi sebagian masyarakat pada malam satu suro dilarang untuk ke mana-mana. Kegiatan yang dianjurkan pada malam satu suro adalah berdoa ataupun melakukan ibadah lain.

Sejarah Peringatan Malam Satu Suro

Sejarah peringatan malam satu suro tidak lepas dari penyebaran Islam di nusantara. Peristiwa itu berkaitan dengan pengenalan kalender Islam di kalangan masyarakat Jawa. Pada tahun 931 H atau 1443 tahun Jawa baru, zaman pemerintahan kerajaan Demak oleh Sunan Giri II membuat penyesuaian antara sistem kalender Hijriyah dengan sistem kalender Jawa pada waktu itu.

Pada waktu itu, Sultan Agung menginginkan persatuan rakyatnya untuk menggempur Belanda di Batavia. Upaya ini termasuk usaha yang dilakukan untuk menyatukan masyarakat di Pulau Jawa. Agar rakyat tidak terpecah belah akibat keyakinan agama, Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan.

Pada setiap hari Jumat legi, dilakukan laporan pemerintahan setempat dengan mengadakan pengajian oleh para penghulu kabupaten. Selain itu juga dilakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri. Alasan inilah yang membuat malam satu suro jawa (tanggal 1 Muharram) yang dimulai pada hari Jumat legi menjadi dikeramatkan. Anggapan masyarakat Jawa pada waktu itu, bahwa orang yang memanfaatkan hari tersebut diluar kepentingan mengaji, ziarah, dan haul akan mengalami kesialan.

Karakteristik Upacara Peringatan Malam Satu Suro

Budaya malam satu Suro sangat lekat dengan budaya Jawa. Peringatan yang dilakukan biasanya berupa ritual tradisi iring-iringan rombongan masyarakat. Upacara peringatan malam satu sore berlokasi di beberapa daerah di Jawa, yang banyak menjadi sorotan adalah upacara peringatan di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat. Kedua kraton ini dipandang sebagai pusat kebudayaan Jawa. Upacara peringatan malam 1 Suro diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa.

Peringatan budaya malam satu suro di Solo:
Perayaan malam satu Suro di Solo melibatkan hewan khas yang disebut kebo (kerbau) bule. Kebo bule menjadi salah satu daya tarik bagi warga yang menyaksikan perayaan malam satu Suro.Kebo bule Kyai Slamet, bukan merupakan sembarang kerbau. Hewan tersebut termasuk pusaka penting milik keraton. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat oleh masyarakat setempat.

Upacara Peringatan Budaya Malam Satu Suro

Upacara kirab peringatan malam satu Suro di Keraton Surakarta Hadiningrat dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.

Peringatan malam satu suro di Yogyakarta:
biasanya selalu identik dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab. Para abdi dalem keraton membawa beberapa hasil kekayaan alam berupa gunungan tumpeng serta benda pusaka dalam iring-iringan kirab. Kirab dilakukan mengelilingi benteng keraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Istilah ini sering disebut sebagai tapa mbisu mubeng beteng.

Peringatan budaya malam satu Suro di Yogyakarta ini biasanya juga selalu diselingi dengan ritual pembacaan doa dari semua umat yang hadir merayakannya. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan berkah dan menangkal datangnya marabahaya. Upacara peringatan tradisi malam satu Suro menitik beratkan pada ketentraman batin dan keselamatan. 

Makna Peringatan Budaya Malam Satu Suro

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro meupakan awal tahun Jawa yang dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci. Bulan Suro dianggap sebagai waktu yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Saat malam 1 Suro tiba, biasanya masyarakat Jawa umumnya melakukan ritual tirakatan dan begadang. Sebagian yang lain melaukan dengan tuguran, yaitu perenungan diri sambil berdoa. Selain itu ada cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu, bersikap eling (ingat) dan waspada (berhati-hati).

Upacara peringatan budaya malam satu suro mengajarkan untuk:

  1. Perlunya menjaga diri dari perbuatan buruk dan kepasrahan kepada Tuhan
  2. Menjadi momentum untuk berintrospeksi
  3. Selalu bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa
  4. Berbuat terbaik, tidak hanya untuk dirinya sendiri dan keluarga terdekatnya, tetapi untuk sesama makhluk Tuhan

Sekian ulasan materi budaya malam satu suro yang masih sering diperingati di beberapa wilayah Indonesia. Materi meliputi pengertian malam satu suro, sejarah peringatan malam satu suro, karakteristik upacara peringatan budaya malam satu suro, dan makna peringatan malam satu suro sebagai warisan budaya. Terimakasih sudah mengunjungi idschool(dot)net, semoga bermanfaat.

Baca Juga: Sistem Penanggalan Masehi dan Hijriah

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version