Penataan Stabilitas Politik pada Masa Orde Baru – Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Suharto di Indonesia. Indonesia mengalami kemajuan pembangunan nasional berkembang pesat pada awal masa orde baru. Namun orde baru juga mewariskan banyak masalah pada akhir pemerintahan yang diwarnai dengan demonstrasi besar di berbagai wilayah Indonesia. Lahirnya orde baru tidak lepas dari sejarah kelam yang pernah terjadi di Indonesia.
Indonesia pernah mengalami sejarah kelam di mana enam jenderal dan satu perwira tinggi Angkatan Darat dibunuh secara brutal. Sejarah kelam tersebut hingga kini dikenal sebagai peristiwa Gerakan 30 September atau G 30 S/PKI. Dari sejarah kelam berakibat pada kondisi politik Indonsia yang tidak stabil. Peristiwa tersebut juga membuat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah menjadi menurun (Rangkuman Peristiwa G 30 S/PKI 1965).
Bagaimana Indonesia bisa lepas dari politik yang tidak stabil? Apa yang menjadi latar belakang dari pergantian pemerintahan menjadi orde baru? Apa saja langkah penataan stabilitas politik pada masa orde baru? Sobat idschool dapat mencari tahu jawabannya melalui ulasan di bawah.
Latar Belakang Pergantian Kepemimpinan Orde Baru
Kondisi politik Indonesia tidak kunjung membaik pasca gerakan 30 september dan penumpasan G 30 S/PKI. Pada waktu itu kondisi politik Indonesia tidak stabil sehingga membuat kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soekarno semakin menurun. Kondisi politik tidak stabil dibarengi dengan ekonomi yang terus memburuk. Kondisi ekonomis yang semakin buruk terlihat dari kenaikan yang tinggi akan harga-harga barang kebutuhan pokok.
Hal tersebut mendorong para pemuda dan mahasiswa melakukan aksi-aksi demonstrasi untuk menuntut penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G 30 S/PKI dan perbaikan ekonomi melalui Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). Namun tuntutan rakyat untuk membubarkan PKI tidak begitu ditaggapi oleh pemerintaha Presiden Soekarno. Hal ini terlihat dari adanya tokoh-tokoh PKI dalam kabinet 100 Menteri yang menggantikan Kabinet Dwikora.
Sebagai bentuk protes, rakyat melakukan aksi pada saat pelantikan kabinet 100 Menteri. Aksi yang dilakukan menimbulkan bentrok antara pasukan Cakrabirawa dan para demonstran yang menewaskan seorang mahasiswa bernama Arief Rahman Hakim. Puncak jatuhnya pemerintahan Presiden Sokearno terjadi pasca Surat Perintah 11 Maret (Supersemar). Lewat Supersemar, Soeharto lalu mengambil alih kekuasaan.
Pada tanggal 12 Maret 1967 Sidang Istimewa MPRS menetapkan Letjen Soeharto sebagai pejabat presiden. Kemudian pada tanggal 27 Maret 1968, MPRS mengukuhkan Soeharto sebagai presiden penuh. Pengukuhan Letjen Soeharto sebagai presiden menjadi babak baru kepemimpinan di Indonesia yaitu masa orde baru.
Baca Juga: Isi Tritura dan Latar Belakang Masalahnya
Penataan Stabilitas Politik pada Masa Orde Baru
Kondisi politik di Indonesia mulai membaik di awal pergantian pemerintahan orde baru. Setelah memperoleh kekuasaan sepenuhnya, pemerintah Orde Baru melaksanakan penataan stabilitas politik. Empat langkah yang dilakukan untuk penataan stabilitas politik pada masa orde baru antara lain meliputi upaya-upaya berikut.
1) Pemulihan Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif
Politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif kembali dipulihkan dengan dikeluarkannya sejumlah ketetapan yang menjadi landasan politik luar negeri Indonesia, di antaranya adalah Ketetapan MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang Kebijaksanaan Politik Luar Negeri RI Bebas Aktif.
2) Pemulihan Hubungan dengan Malaysia
Hubungan Indonesia dengan Malaysia sempat tidak membaik. Adanya konfrontasi dikarenakan keinginan Malayasia untuk menggabungkan Brunei, Sabah, dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia. Indonesia menentang hal tersebut karena menurut Presiden Soekarno pembentukan Federasi Malaysia merupakan sebagian dari rencana Inggris untuk mengamankan kekuasaanya di Asia Tenggara.
Pada saat Konfrontasi Indonesia-Malaysia sedang berlangsung, Malaysia dicalonkan menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Pencalonan ini mendapat reaksi keras dari Presiden Soekarno.
Sampai pada tanggal 7 Januari 1965, Malaysia dinyatakan diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Akibatnya, Presiden Soekarno menyatakan Indonesia keluar dari PBB dengan spontan.
Pemulihan hubungan Indonesia dan Malaysia dimulai dengan diadakannya perundingan Bangkok pada 29 Mei – 1 Juni 1966 yang menghasilkan Perjanjian Bangkok. Selanjutnya pada tanggal 11 Agustus 1966 ditandatangani persetujuan pemulihan hubungan Indonesia–Malaysia di Jakarta.
Persetujuan pemulihan hubungan Indonesia–Malaysia ditandatangani oleh Adam Malik (Indonesia) dan Tun Abdul Razak (Malaysia).
3) Kembali Menjadi Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Sebelumnya, Indonesia keluar dari anggota PBB karena memiliki masalah dengan Malaysia. Pada tanggal 28 September 1966, Indonesia kembali menjadi anggota PBB. Keputusan untuk kembali menjadi anggota PBB dikarenakan pemerintah menyadari banyak manfaat yang diperoleh Indonesia selama menjadi anggota. Kembalinya Indonesia menjadi anggota disambut baik oleh PBB.
Hal ini ditunjukkan dengan dipilihnya Adam Malik sebagai Ketua Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974.
4) Ikut Memprakarsai Pembentukan Association of Southeast Asian Nation (ASEAN)
Penataan stabilitas politik pada masa orde baru berikutnya adalah turut memperkasai berdirinya ASEAN. Berdirinya ASEAN ditandai dengan penandatanganan Deklarasi Bangkok pada tanggal 8 Agustus 1967. Tujuan pembentukan ASEAN ini adalah untuk meningkatkan kerjasama regional khususnya di bidang ekonomi dan budaya. Ada lima negara yang terlibat dalam pembentukan ASEAN yang diwakili oleh tokoh-tokoh negara.
Tokoh-tokoh yang menandatangani Deklarasi Bangkok:
- Adam Malik (Menteri Luar Negeri Indonesia)
- S. Rajaratnam (Menteri Luar Negeri Singapura)
- Tun Abdul Razak (Pejabat Perdana Menteri Malaysia)
- Thanat Khoman (Menteri Luar Negeri Thailand)
- Narcisco Ramos (Menteri Luar Negeri Filipina)
Demikianlah tadi 4 langkah penataan stabilitas politik pada masa orde baru. Terimakasih sudah mengunjungi idschool(dot)net, semoga bermanfaat!
Baca Juga: Perusahaan Dagang VOC dari Belanda yang Pernah Menguasai Nusantara